BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nilam adalah suatu semak tropis penghasil sejenis minyak atsiri yang dinamakan minyak nilam. Dalam perdagangan internasional, minyak nilam dikenal sebagai minyak patchouli (dari bahasa Tamil patchai (hijau) dan ellai (daun), karena minyaknya disuling dari daun). Aroma minyak nilam dikenal 'berat' dan 'kuat' dan telah berabad-abad digunakan sebagai wangi-wangian (parfum) dan bahan dupa atau setanggi pada tradisi timur. Harga jual minyak nilam termasuk yang tertinggi apabila dibandingkan dengan minyak atsiri lainnya.
Menurut Guenther (1990), minyak nilam mengandung senyawa Patchouli Alcohol (PA) yang merupakan penyusun utama dalam minyak nilam yang kadarnya mencapai 50-60%. PA merupakan senyawa seskuiterpen alkohol tersier trisiklik. PA tidak larut dalam air, namun larut dalam alkohol, eter atau pelarut organik yang lain. PA mempunyai titik didih 280,37 oC dan kristal yang terbentuk memiliki titik leleh 56¬ ¬oC. Minyak nilam selain mengandung senyawa Patchouli Alcohol (komponen mayor) juga mengandung komponen minor lainnya.
Penghasil minyak atsiri yang mempunyai prospek cukup tinggi adalah tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth). Hal ini dapat dilihat dari kebutuhan pasar dunia yang dirata-ratakan mencapai 1.200 – 1.400 ton per tahunnya . Hampir 70% dari kebutuhan minyak atsiri di dunia dipasok oleh Indonesia, yang sebagian besar digunakan di industri parfum, kosmetik, antiseptik dan insektisida . Selain itu, berdasarkan data Ditjen Perkebunan tahun 2006, minyak nilam merupakan penyumbang devisa sebanyak 50% dari total ekspor minyak atsiri Indonesia.
Salah satu kendala yang dihadapi oleh industri nilam di Indonesia adalah mutu. Hal ini disebabkan karena minyak nilam dari Indonesia sering tercampur dengan minyak nabati atau minyak keruing atau minyak lain. Hal tersebut mengakibatkan minyak nilam dari Indonesia dihargai lebih murah dibandingkan minyak nilam yang dihasilkan dari negara lain seperti India. Untuk mencegah terjadinya pemalsuan diperlukan upaya dari berbagai pihak.
Arang aktif merupakan bahan adsorpsi dengan permukaan lapisan yang luas dengan bentuk butiran (granular) atau serbuk (powder). Adsorpsi adalah proses karbon aktif menyisihkan substansi dari air atau sebuah proses penyisihan partikel (air) yang terikat pada permukaan adsorben baik melalui gaya tarik kimia maupun fisika. Beberapa partikel yang tidak dapat diserap diantaranya adalah lithium, asam atau basa kuat, logam dan bahan inorganik, alkohol dan hidrokarbon. Hasil pembakaran sekam padi dapat menghasilkan arang yang dinamakan arang sekam padi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Anshar dan Prana 2009 mengenai optimasi karbon aktif dari sekam padi, arang sekam padi terbukti memiliki kapasitas adsorpsi yang baik. Dengan demikian, proses adsorpsi dengan menggunakan arang aktif dari sekam padi sangat dimungkinkan untuk meningkatkan kadar Patchouli Alcohol pada minyak nilam karena dapat menyerap beberapa zat penggangu (terutama air).
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini mencakup hal-hal berikut:
1. Bagaimana pengaruh pemakaian arang aktif (sekam padi) sebagai adsorben terhadap kadar Patchouli Alcohol pada rendemen minyak nilam?
2. Bagaimana pengaruh diameter arang aktif, massa arang aktif dan waktu adsorpsi arang aktif pada bahan terhadap kadar Patchouli Alcohol pada rendemen minyak nilam?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan pengaruh adsorpsi terhadap kadar Patchouli Alcohol pada rendemen minyak nilam dengan menggunakan arang aktif (sekam padi).
2. Mempelajari pengaruh diameter arang aktif, massa arang aktif dan waktu adsorpsi arang aktif pada bahan terhadap kadar Patchouli Alcohol pada rendemen minyak nilam.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat kepada peneliti untuk mengetahui dan mempelajari karakteristik arang aktif, pengaruh adsorpsi terhadap kadar Patchouli Alcohol serta pengaruh lama waktu adsorpsi, diameter arang aktif, massa arang aktif dan waktu adsorpsi arang aktif pada bahan terhadap kadar Patchouli Alcohol pada rendemen minyak nilam. Serta untuk memberi informasi upaya untuk meningkatkan kadar Patchouli alcohol pada rendeman minyak nilam untuk para produsen minyak nilam dan masyarakat, agar nilai jual dari minyak nilam yang mereka produksi dapat meningkat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Minyak Nilam
Tanaman nilam termasuk jenis famili Labiatae di mana bentuk fisiknya seperti tanaman perdu, daunnya berwarna hijau kemerahan, baunya harum dan berbentuk bulat atau lonjong serta bercabang banyak. Tinggi pohon nilam sekitar 60 cm dan batangnya tidak terlalu kokoh sehingga akan rebah karena menyangga daun yang rimbun. Di Indonesia terdapat tiga jenis tanaman nilam yang dapat dibedakan antara lain dari karakter morfologi, kandungan dan kualitas minyak dan ketahanannya terhadap cekaman biotik dan abiotik. Ketiga jenis nilam tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pogostemon cablin Benth
Tanaman nilam jenis ini daunnya agak membulat seperti jantung, di bagian bawah terdapat bulu-bulu halus sehingga warnanya nampak pucat, tidak berbunga dan memiliki komposisi minyak yang bagus dengan kadar 2,5 – 5%.
2. Pogostemon heyneanus Benth
Tanaman ini disebut juga dengan nilam hutan atau nilam jawa, di mana daunnya lebih tipis dan ujung daunnya meruncing, berbunga dan mempunyai komposisi minyak yang jelek dengan kadar antara 0,5 – 1,5 %. Tanaman jenis ini banyak tumbuh di daerah Sumatera dan Jawa, dengan ketinggian sekitar 1000 - 2000 m.
3. Pogostemon hortensis Backer
Tanaman nilam jenis ini disebut juga dengan nilam sabun, di mana daunnya tipis dan ujung daunnya runcing, tidak berbunga dan mempunyai komposisi minyak yang jelek dengan kadar antara 0,5 – 1,5 % (Krismawati,2005).
Minyak nilam yang diperoleh dengan cara distilasi dalam perdagangan disebut patchouli oil. Kata patchouli berasal dari kata "pacholi" yaitu nama sejenis tanaman yang banyak terdapat di tanah Hindustan. Pada mulanya tanaman nilam dipakai sebagai pewangi selendang oleh orang India karena baunya yang khas (Guenther, 1987).
Minyak nilam diperoleh dari hasil penyulingan daun, batang dan cabang tanaman nilam. Kadar minyak tertinggi terdapat pada daun dengan kandungan utamanya adalah Patchouli Alcohol yang berkisar antara 30 – 60 %. Aromanya segar dan khas dan mempunyai daya fiksasi yang kuat sehingga sulit digantikan oleh bahan sintetis (Rusli, 1991).
Minyak nilam digunakan dalam industri parfum, kosmetik, antiseptik dan insektisida. Dengan berkembangnya pengobatan tradisional, minyak nilam juga banyak digunakan sebagai bahan aromaterapi. Penggunaan minyak nilam dalam industri-industri ini karena sifatnya yang fiksative terhadap bahan pewangi lain sehingga dapat mengikat bau wangi dan mencegah penguapan zat pewangi (Krismawati, 2005).
Minyak nilam mengandung senyawa Patchouli Alcohol yang merupakan penyusun utama dalam minyak nilam yang kadarnya mencapai 50-60%. Patchouli Alcohol merupakan senyawa seskuiterpen alkohol tersier trisiklik yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam alkohol, eter atau pelarut organik yang lain. Patchouli Alcohol mempunyai titik didih 280,37¬ oC dan kristal yang terbentuk memiliki titik leleh 56 oC. Pada umumnya senyawa penyusun minyak atsiri bersifat asam dan netral. Begitu pula dengan minyak nilam, tersusun atas senyawa-senyawa yang bersifat asam dan netral, misalnya senyawa asam 2-naftalen karboksilat yang merupakan salah satu komponen minor penyusun minyak nilam. Struktur molekul dari senyawa Patchouli Alcohol dan senyawa asam 2 –naftalen karboksilat ditunjukkan pada Gambar 2.1
Gambar 2.1. Stuktur Molekul Senyawa Patchouli Alcohol dan Senyawa Asam
2 –naftalen karboksilat
(Guenther 1990).
Komponen–komponen penyusun minyak nilam adalah Benzaldehid, karyofilen, α-patchoulena, bulnesen dan Patchouli Alcohol (Hernani & Budi Tangendjaja, 1988).
Mutu minyak nilam yang memenuhi standart SNI (Standart Nasional Indonesia) diperlihatkan pada Tabel 2.1:
Tabel 2.1 Persyaratan Mutu Minyak Nilam (SNI 06-2385-2006)
No Jenis Uji Satuan Persyaratan
1 Warna - Kuning muda – coklat kemerarahan
2 Bobot Jenis 250C/250C - 0,950 - 0,975
3 Indeks Bias (nD20) - 1,507 – 1,515
4 Kelarutan dalam etanol 90% pada suhu 200C +30C - Larutan jernih atau opalesensi ringan dalam perbandingan volume 1:10
5 Bilangan asam - Maks. 8
6 Bilangan Ester - Maks. 20
7 Putaran Optik - (-)480 – (-)650
8 Patchouli Alcohol (C15H26O) % Min. 30
9 Alpha copaene (C15H24) % Maks. 0,5
10 Kandungan besi (Fe) mg/kg Maks. 25
(Badan Standardisasi Nasional, 2006)
2.2 Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu proses pemisahan bahan dari campuran gas atau cair, di mana bahan yang harus dipisahkan ditarik oleh permukaan sorben padat dan diikat oleh gaya-gaya yang bekerja pada permukaan tersebut. Oleh karena selektivitas yang tinggi, proses adsorpsi sangat sesuai untuk memisahkan bahan dengan konsentrasi yang kecil dari campuran mengandung bahan lain yang mempunyai konsentrasi yang tinggi. Bahan yang dipisahkan tentu saja harus dapat diadsorpsi. Sebaliknya, untuk memisahkan bahan dengan konsentrasi yang lebih besar disukai proses pemisahan yang lain, karena mahalnya regenerasi adsorben yang terbebani. Beberapa contoh adsorpsi antara lain:
1. Pengeringan udara atau gas-gas lain.
2. Pemisahan bahan yang mengandung racun atau yang berbau busuk dari udara buang.
3. Pengambilan pelarut dari udara buang.
4. Pemisahan campuran gas untuk memperoleh komponen-komponen gas.
5. Penghilangan warna larutan (misalnya sebelum kristalisasi).
6. Pemisahan bahan organik dari air (bersamaan dengan pemisahan pengotor berbentuk koloida yang sukar disaring).
7. Pemutihan maupun perbaikan bau dan rasa bahan makanan cair (misalnya minyak dengan minyak, lemak dengan lemak).
Kecepatan adsorpsi tidak hanya tergantung pada perbedaan konsentrasi dan pada luas permukaan adsorben, melainkan juga pada suhu, tekanan (untuk gas), ukuran partikel dan porositas adsorben. Di samping itu juga tergantung pada ukuran molekul bahan yang akan diadsorpsi dan pada viskositas campuran yang akan dipisahkan (cairan dan gas). Pemilihan proses adsorpsi yang akan digunakan untuk pemisahan disesuaikan dengan kondisi agregasi campuran yang akan dipisahkan (padat, cair, gas), konsentrasi bahan yang akan dipisahkan, adsorben yang paling cocok, metode regenerasi yang diperlukan maupun pertimbangan ekonominya (Anonim3,2009).
Berdasarkan prosesnya adsorpsi, dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
1. Adsorpsi Fisik
Adsorpsi fisik adalah adsorpsi yang terjadi akibat gaya interaksi tarik-menarik antara molekul adsorben dengan molekul adsorbat. Adsorpsi ini melibatkan gaya-gaya Van der Wals (sebagai kondensasi uap). Jenis ini cocok untuk proses adsorpsi yang membutuhkan proses regenerasi karena zat yang teradsorpsi tidak larut dalam adsorben tapi hanya sampai permukaan saja (Treybal, 1980).
2. Adsorpsi Kimia
Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang terjadi akibat interaksi kimia antara molekul adsorben dengan molekul adsorbat. Proses ini pada umumnya menurunkan kapasitas dari adsorben karena gaya adhesinya yang kuat sehingga proses ini tidak reversibel (Treybal, 1980).
2.3 Adsorben
Adsorben (untuk adsorpsi fisika) adalah bahan padat dengan luas permukaan dalam yang sangat besar. Permukaan yang luas ini terbentuk karena banyak pori yang halus pada padatan tersebut. Biasanya luasnya berada dalam orde 200 – 1000 m2/gr adsorben dengan diameter pori sebesar 0,0003 – 0,02 μm. Di samping luas spesifik dan diameter pori, kerapatan unggun, distribusi ukuran partikel maupun kekerasannya merupakan data karakteristik yang penting dari suatu adsorben (Anonim1, 2009).
Dalam penggunaannya, adsorben dapat digunakan dalam dua bentuk, yaitu dapat berupa granulat (dengan ukuran butir dalam mm) atau berupa serbuk (khusus untuk adsorpsi campuran cair). Regenerasi dapat dilakukan untuk memperbaiki kembali daya adsorpsi dari adsorben yang telah dipakai maupun untuk memperoleh kembali bahan yang telah diadsorpsi. Dalam hal ini, bahan yang telah teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan, penurunan tekanan, pencucian dengan bahan yang tidak dapat diadsorpsi, pendesakan dengan bahan yang teradsorpsi lebih baik ataupun dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut (desorpsi) (Anonim1, 2009).
Klasifikasi adsorben berdasarkan bahannya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Adsorben Organik
Adsorben organik adalah adsorben yang berasal dari bahan-bahan yang mengandung pati. Adsorben ini sudah mulai digunakan sejak tahun 1979 untuk mengeringkan berbagai macam senyawa. Beberapa tumbuhan yang biasa digunakan untuk adsorben diantaranya adalah ganyong, singkong, jagung dan gandum. Kelemahan dari adsorben ini adalah sangat bergantung pada kualitas tumbuhan yang akan dijadikan adsorben (Anonim1, 2009).
2. Adsorben Anorganik
Adsorben ini mulai dipakai pada awal abad ke-20. Dalam perkembangannya, pemakaian dan jenis dari adsorben ini semakin beragam dan banyak dipakai orang. Penggunaan adsorben ini dipilih karena berasal dari bahan-bahan non pangan sehingga tidak terpengaruh oleh ketersediaan pangan dan kualitasnya cenderung sama (Anonim1, 2009).
2.4 Sekam Padi
Indonesia sejak lama telah dikenal sebagai negara agraris dengan tanaman padi sebagai fokus pertanian masyarakat yang dikembangkan. Dari hasil pertanian tanaman padi, akan dihasilkan limbah sekam padi yang pemanfaatannya masih terbatas.
Sekam padi merupakan lapisan keras yang membungkus kariopsis butir gabah, terdiri atas dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Pada proses penggilingan gabah, sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Dari proses penggilingan gabah akan dihasilkan 16,3 – 28% sekam. Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak dan energi atau bahan bakar (Anonim2, 2009).
Gambar 2.2 Sekam Padi
(Anonim2,2009).
komposisi kimia sekam padi menurut DTC – IPB adalah sebagai berikut:
- Karbon (zat arang) : 1,33%
- Hidrogen : 1,54%
- Oksigen : 33,64%
- Silika : 16,98%
Hasil pembakaran sekam padi dapat menghasilkan arang yang dinamakan arang sekam padi. Dari beberapa investigasi atau penelitian yang telah dilakukan, arang sekam padi terbukti memiliki kapasitas adsorpsi yang baik. Arang sekam padi maupun sekam padi tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan di antaranya:
a. Sebagai bahan baku pada industri kimia, terutama kandungan zat kimia furfural yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai industri kimia.
b. Sebagai bahan baku pada industri bahan bangunan, terutama kandungan silika (SiO2) yang dapat digunakan untuk campuran pada pembuatan semen portland, bahan isolasi, husk-board dan campuran pada industri bata merah.
c. Sebagai sumber energi panas pada berbagai keperluan manusia, kadar selulosa yang cukup tinggi dapat memberikan pembakaran yang merata dan stabil.
d. Sebagai adsorben logam-logam berat seperti Pb, Cd, Cr, Fe dan lain-lain (Anonim2, 2009).
2.5 Arang
Arang merupakan suatu padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon yang dihasilkan dari pemanasan bahan-bahan organik pada suhu tinggi. Ketika pemanasan berlangsung, diusahakan agar tidak terjadi kebocoran udara di dalam ruangan pemanasan sehingga bahan yang mengandung karbon tersebut hanya terkarbonisasi dan tidak teroksidasi (Sembiring dan Sinaga, 2003).
Arang selain digunakan sebagai bahan bakar juga dapat digunakan sebagai adsorben (penyerap). Daya serap arang ditentukan oleh luas permukaan partikel, yang dapat menjadi lebih tinggi jika dilakukan aktivasi secara kimia maupun fisika terhadap arang tersebut. Dengan demikian, arang akan mengalami perubahan sifat-sifat fisika dan kimia. Arang yang demikian disebut sebagai arang aktif (Sembiring dan Sinaga, 2003).
Kualitas arang dipengaruhi oleh jenis bahan bakunya. Bahan baku yang keras (bahan baku dengan berat jenis tinggi) menghasilkan daya serap lebih tinggi dibandingkan dengan bahan yang berat jenisnya rendah (Kirk dan Othmer, 1993).
2.6 Arang Aktif
Dalam satu gram karbon aktif, pada umumnya memiliki luas permukaan seluas 500-1500 m2, sehingga sangat efektif dalam menangkap partikel-partikel yang sangat halus berukuran 0.01-0.0000001 mm. Karbon aktif bersifat sangat aktif dan akan menyerap apa saja yang kontak dengan karbon tersebut. Dalam waktu 60 jam biasanya karbon aktif tersebut menjadi jenuh dan tidak aktif lagi. Oleh karena itu biasanya arang aktif dikemas dalam kemasan yang kedap udara. Sampai tahap tertentu beberapa jenis arang aktif dapat di reaktivasi kembali, meskipun demikian tidak jarang yang disarankan untuk sekali pakai. Reaktivasi karbon aktif sangat tergantung dari metode aktivasi sebelumnya, oleh karena itu perlu diperhatikan keterangan pada kemasan produk tersebut (Anonim3, 2009).
Namun secara umum dan sederhana proses pembuatan arang aktif terdiri dari tiga tahap yaitu:
1. Dehidrasi : proses penghilangan air di mana bahan baku dipanaskan sampai temperatur 170 °C.
2. Karbonisasi : pemecahan bahan-bahan organik menjadi karbon. Pemanasan dengan suhu di atas 170 °C akan menghasilkan CO, CO2 dan asam asetat. Pada suhu 275 °C akan terjadi dekomposisi menghasilkan “ter”, metanol dan hasil samping lainnya. Pembentukan karbon itu sendiri terjadi pada temperatur 400 – 600 0C.
3. Aktivasi : dekomposisi tar dan perluasan pori-pori. Dapat dilakukan dengan uap atau CO2 sebagai aktifator.
Proses aktivasi merupakan hal yang penting diperhatikan disamping bahan baku yang digunakan. Yang dimaksud dengan aktivasi adalah suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul – molekul permukaan sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi. Metoda aktivasi yang umum digunakan dalam pembuatan arang aktif adalah:
1. Aktivasi Kimia
Aktivasi ini merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan pemakaian bahan-bahan kimia. Aktifator yang digunakan adalah bahan-bahan kimia seperti: hidroksida logam alkali garam-garam karbonat, klorida, sulfat, fosfat dari logam alkali tanah dan khususnya ZnCl2, asam-asam anorganik seperti H2SO4 dan H3PO4.
2. Aktivasi Fisika.
Aktivasi ini merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan bantuan panas, uap dan CO2. Umumnya arang dipanaskan didalam tanur pada temperatur 800-900°C. Oksidasi dengan udara pada temperatur rendah merupakan reaksi eksoterm sehingga sulit untuk mengontrolnya. Sedangkan pemanasan dengan uap atau CO2 pada temperatur tinggi merupakan reaksi endoterm sehingga lebih mudah dikontrol dan paling umum digunakan (anonim3,2009)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Dasar Fakultas MIPA UNLAM Banjarbaru dan Laboraturium Operasi Teknik Kimia UNLAM dengan lama penelitian ± 3 bulan dari bulan Oktober sampai Desember 2009.
Minyak nilam yang digunakan bersumber dari pabrik pengolahan minyak nilam di daerah Gambut (Kalimantan Selatan) dengan dengan proses penyulingan uap dan air dan kadar Patchouli Alcohol awal sekitar 38 %. Berikut ini akan diuraikan alat, bahan dan variabel penelitian dan prosedur-prosedur penelitian.
Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel tetap. Variabel bebas adalah diameter arang aktif, lama waktu adsorpsi dan massa arang aktif, sedangkan yang menjadi variabel tetapnya adalah volume minyak nilam.
3.1 Alat
Peralatan-peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Furnace 8. Cawan porselin dan penggerus
2. Sieve tray 9. Aluminium foil
3. Neraca analitik 10. Kertas saring whatman
4. Gelas ukur 11. Corong
5. Alcohol meter 12. Gelas plastik
6. Pengaduk 13. Kertas saring
7. Kaleng 14. Botol plastik
3.2 Deskripsi alat
(a) (b) (c)
Gambar 3.1 (a) proses adsorpsi, (b) proses penyaringan minyak nilam dan (c) minyak nilam yang telah diadsorpsi
3.3 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Arang sekam padi
2. Minyak atsiri dengan kadar PA awal 38
3. Aquadest
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Melakukan Uji terhadap Variabel Diameter
Menyiapkan arang aktif, kemudian mengayak arang aktif tersebut menggunakan sieve tray dengan ukuran 250 - 355 mic, 335 – 500 mic dan 500 – 710 mic. Selanjutnya melarutkan tiap sampel arang aktif ke dalam 80 mL minyak nilam tanpa pengadukan dan mendiamkannya untuk proses adsorpsi sesuai dengan variabel waktu 3, 6 dan 9 jam. Setelah itu menyaring minyak nilam tersebut dengan menggunakan kertas Whatman dan melakukan pengukuran kadar Patchouli Alcohol dengan menggunakan alkohol meter pada tiap-tiap variabel diameter arang aktif dan waktu adsorbsi sebanyak tiga kali.
3.4.2 Melakukan Uji terhadap Variabel Waktu Adsorpsi
Menyiapkan arang aktif, kemudian melarutkan tiap sampel arang aktif ke dalam 80 mL minyak nilam dengan variabel waktu 3, 6 dan 9 jam. Selanjutnya menyaring minyak nilam tersebut dengan menggunakan kertas whatman dan mengukur kadar Patchouli Alcohol-nya dengan alkohol meter pada tiap ukuran arang aktif dan waktu adsorpsi sebanyak tiga kali.
3.4.3 Melakukan Uji terhadap Variabel Massa
Menyiapkan arang aktif, kemudian melarutkan tiap sampel arang aktif ke dalam 80 mL minyak nilam dengan variabel massa arang aktif 0,4 gram, 0,8 gram dan 1,2 gram. Setelah itu menyaring larutan tersebut dengan menggunakan kertas whatman dan mengukur kadar Patchouli Alcohol dengan menggunakan alkohol meter pada setiap sampel arang aktif dan minyak nilam sebanyak tiga kali.
3.4.4 Diagram Prosedur Kerja
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Tabel 4.1 Hasil Pengamatan pada Waktu Adsorpsi 3 Jam
No. Diameter Arang Aktif
(micron) Massa Arang Aktif (gram) Kadar Patchouli Alcohol
(%)
1 250 - 355 0,4 43
2. 0,8 42
3. 1,2 40
4. 355 - 500 0,4 40
5. 0,8 40
6. 1,2 39
7. 500 - 710 0,4 40
8. 0,8 39
9. 1,2 39
Tabel 4.2 Hasil Pengamatan pada Waktu Adsorpsi 6 Jam
No. Diameter Arang Aktif
(micron) Massa Arang Aktif (gram) Kadar Patchouli Alcohol
(%)
1 250 - 355 0,4 42
2. 0,8 41
3. 1,2 40
4. 355 - 500 0,4 40
5. 0,8 40
6. 1,2 39
7. 500 - 710 0,4 40
8. 0,8 39
9. 1,2 39
Tabel 4.3 Hasil Pengamatan pada Waktu Adsorpsi 9 Jam
No. Diameter Arang Aktif
(micron) Massa Arang Aktif (gram) Kadar Patchouli Alcohol
(%)
1 250 - 355 0,4 41
2. 0,8 40
3. 1,2 39
4. 355 - 500 0,4 40
5. 0,8 40
6. 1,2 39
7. 500 - 710 0,4 40
8. 0,8 39
9. 1,2 39
4.2 Pembahasan
4.2.1 Proses Aktivasi Arang Aktif dari Sekam Padi
Proses aktivasi secara fisika dilakukan dengan cara pemanasan pada suhu tinggi. Proses pemanasan ini dilakukan pada suhu 600oC, selama 3 jam. Kemudian arang aktif yang telah diaktivasi dihaluskan dengan menggunakan cawan porselin, setelah itu baru dilakukan pengayakan menggunakan sieve tray dengan ukuran 250 – 355 micron, 355 – 500 micron dan 500 – 710 micron. Penggunaan suhu 6000C dan waktu 3 jam adalah berdasarkan hasil uji coba dan pengamatan dari penelitian terdahulu di mana diperoleh hasil bahwa pada suhu dan waktu tersebut adalah kondisi yang optimal untuk aktivasi secara fisika. Untuk waktu aktivasi yang lebih dari 3 jam akan diperoleh hasil arang aktif yang kurang baik dan kurang optimal. Hal ini dikarenakan pada waktu yang terlalu lama akan membentuk abu yang lebih banyak. Sedangkan untuk suhu yang melebihi 6000C tidak diperkenankan, karena dapat berpengaruh terhadap keamanan alat dan peneliti. Sekam padi sebelum diaktivasi dan sekam padi yang telah diaktivasi dapat dilihat pada Gambar 4.1 dibawah ini:
(a) (b)
Gambar 4.1 (a) Sekam Padi sebelum Diaktivasi dan (b) Sekam Padi setelah Diaktivasi
4.2.2 Pengaruh Diameter Partikel terhadap Kadar Patchouli Alcohol
Pada penelitian untuk mengetahui pengaruh diameter partikel terhadap kadar Patchouli Alcohol dilakukan pada variasi diameter partikel 250 – 355 micron, 355 – 500 micron dan 500 – 710 micron , untuk massa 0,4 gram, 0,8 gram dan 1,2 gram serta waktu 3 jam, 6 jam dan 9 jam. Hasil pengujian kadar Patchouli Alcohol terhadap variabel – variabel di atas dapat dilihat pada Gambar 4.2, 4.3 dan 4.4 di bawah ini :
Gambar 4.2 Hubungan antara Kadar Patchouli Alcohol Terhadap Variasi Diameter Arang Aktif pada Berbagai Massa untuk Waktu 3 Jam
Gambar 4.3 Hubungan antara Kadar Patchouli Alcohol Terhadap Variasi Diameter Arang Aktif pada Berbagai Massa untuk Waktu 6 Jam
Gambar 4.4 Hubungan antara Kadar Patchouli Alcohol Terhadap Variasi Diameter Arang Aktif pada Berbagai Massa untuk Waktu 9 Jam
Berdasarkan Gambar 4.2, 4.3 dan 4.4 di atas diperoleh bahwa semakin kecil diameter arang aktif, maka semakin tinggi peningkatan kadar Patchouli Alcohol. Hal ini disebabkan karena semakin kecil diameter arang aktif, maka semakin besar luas permukaannya sehingga penyerapan terhadap zat pengotor (yang menyebabkan naiknya kadar Patchouli Alcohol) semakin banyak. Dari Gambar 4.2, 4.3 dan 4.4 dapat diketahui juga kadar Patchouli Alcohol yang tertinggi terdapat pada diameter terkecil yaitu 250 – 355 mic pada waktu adsorpsi 3 jam yaitu sebesar 43%.
Hal ini sesuai dengan literatur di mana semakin kecil diameter partikel, maka semakin besar luas permukaannya sehingga memiliki kemampuan mengadsorpsi yang semakin besar dengan demikian jumlah adsorbat yang terserap semakin banyak (Gaol, 2001).
Ditinjau dari diameter arang aktif, maka terlihat semakin besar diameter arang aktif, maka peningkatan kadar Patchouli Alcohol yang didapat semakin kecil. Sedangkan ditinjau dari massa arang aktif, maka semakin banyak massa arang aktif, maka peningkatan kadar Patchouli alcohol yang didapat juga semakin kecil.
4.2.3 Pengaruh Waktu Adsorpsi terhadap Kadar Patchouli Alcohol.
Pada penelitian untuk mengetahui pengaruh waktu adsorpsi terhadap kadar Patchouli Alcohol dilakukan pada variasi waktu adsorpsi 3 jam, 6 jam dan 9 jam untuk diameter partikel 250 – 355 micron, 355 – 500 micron dan 500 – 710 micron serta massa 0,4 gram, 0,8 gram dan 1,2 gram. Hasil pengujian kadar Patchouli Alcohol terhadap variabel – variabel di atas dapat dilihat pada Gambar 4.5, 4.6 dan 4.7 di bawah ini :
Gambar 4.5 Hubungan antara Kadar Patchouli Alcohol Terhadap Variasi Waktu Adsorpsi 3, 6 dan 9 Jam pada Berbagai Diameter untuk massa 0,4 gram
Gambar 4.6 Hubungan antara Kadar Patchouli Alcohol Terhadap Variasi Waktu Adsorpsi 3, 6 dan 9 Jam pada Berbagai Diameter untuk massa 0,8 gram
Gambar 4.7 Hubungan antara Kadar Patchouli Alcohol Terhadap Variasi Waktu Adsorpsi 3, 6 dan 9 Jam pada Berbagai Diameter untuk massa 1,2 gram
Berdasarkan Gambar 4.5, 4.6 dan 4.7 di atas terlihat semakin lama waktu adsorpsi, maka peningkatan kadar Patchouli Alcohol semakin kecil. Dari Gambar 4.5, 4.6 dan 4.7 dapat diketahui juga kadar Patchouli Alcohol tertinggi yaitu sebesar 43% yang terdapat pada waktu adsorpsi selama 3 jam dengan massa arang aktif sebanyak 0,4 gram. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu adsorpsi, maka kemampuan penyerapan arang aktif sebagai adsorben akan berkurang. Berkurangnya kemampuan penyerapan arang aktif, dikarenakan molekul-molekul air sudah memenuhi permukaan arang aktif sehingga mendorong molekul air kembali keluar (sudah jenuh).
Hal ini sesuai dengan literatur di mana semakin lama waktu adsorpsi, maka kemampuan arang aktif akan semakin berkurang. Dalam waktu 60 jam biasanya arang aktif akan menjadi jenuh dan tidak aktif lagi (Anonim3, 2009).
Ditinjau dari waktu adsorpsi, maka semakin lama waktu adsorpsi, maka peningkatan kadar Patchouli alcohol yang didapat semakin kecil. Sedangkan ditinjau dari diameter arang aktif, maka semakin besar diameter arang aktif, maka peningkatan kadar Patchouli Alkohol yang didapat semakin kecil, akan tetapi pada diameter 355-500, dan 500-710 mic peningkatan kadar Patchouli Alkohol-nya cenderung sama.
4.2.4 Pengaruh Massa Partikel Terhadap Kadar Patchouli Alcohol
Pada penelitian untuk mengetahui pengaruh massa partikel terhadap kadar Patchouli Alcohol dilakukan pada variasi massa 0,4 gram, 0,8 gram dan 1,2 gram untuk diameter partikel 250 – 355 micron, 355 – 500 micron dan 500 – 710 micron serta waktu adsorpsi 3 jam, 6 jam dan 9 jam. Hasil pengujian kadar Patchouli Alcohol terhadap variabel – variabel di atas dapat dilihat pada Gambar 4.8, 4.9 dan 4.10 di bawah ini :
Gambar 4.8 Hubungan antara Kadar Patchouli Alcohol Terhadap massa Arang Aktif pada Berbagai Diameter Arang pada Waktu Adsorpsi 3 Jam
Gambar 4.9 Hubungan antara Kadar Patchouli Alcohol Terhadap massa Arang Aktif pada Berbagai Diameter Arang pada Waktu Adsorpsi 6 Jam
Gambar 4.10 Hubungan antara Kadar Patchouli Alcohol Terhadap massa Arang Aktif pada Berbagai Diameter Arang pada Waktu Adsorpsi 9 Jam
Berdasarkan Gambar 4.8, 4.9 dan 4.10 di atas maka terlihat semakin sedikit massa arang aktif, maka semakin tinggi peningkatan kadar Patchouli Alcohol. Dan kadar Patchouli alkohol tertinggi yaitu 43% terdapat pada massa arang aktif 0,4 gram dengan waktu adsorpsi 3 jam. Hal ini mungkin dikarenakan jumlah arang aktif dalam minyak nilam terlalu banyak dan waktu adsorpsi terlalu lama, maka sebagian arang aktif akan tersuspensi ke dalam minyak nilam sehingga merubah fungsi arang aktif dari penyerap (adsorbat) menjadi pengotor.
Ditinjau dari massa arang aktif, maka semakin banyak massa arang aktif, maka peningkatan kadar Patchouli Alkohol yang didapat juga semakin kecil. Sedangkan ditinjau dari diameter arang aktif, maka semakin besar diameter arang aktif, maka peningkatan kadar Patchouli Alkohol yang didapat juga semakin kecil
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pemakaian arang aktif (sekam padi) sebagai adsorben dapat meningkatkan kadar Patchouli Alcohol pada rendemen minyak nilam.
2. Semakin kecil diameter arang aktif, semakin sedikit massa arang aktif dan semakin singkat waktu adsorpsi maka kadar Patchouli Alcohol pada randemen minyak nilam yang didapat akan semakin meningkat. Kadar Patchouli Alcohol tertinggi yaitu 43% terdapat pada diameter arang aktif 250 – 355 mic dengan jumlah massa arang aktif 0,4 gram pada waktu adsorpsi selama 3 jam.
5.2 Saran
Saran yang dapat kami berikan dari penelitian yang telah kami lakukan yaitu untuk proses penyaringan sangat disarankan menggunakan kertas saring Whatman, dan untuk barang – barang yang digunakan sebaiknya dalam keadaan kering bebas air.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009, Arang Aktif, http://id.wikipedia.org/wiki/arang aktif, Diakses tanggal 27 Juli 2009.
Anonim, 2009, Penggunaan Sekam Padi Sebagai Adsorben, http://www.nuansa kimiaku.com//, Diakses tanggal 25 Mei 2009.
Anonim, 2009, Sekam Padi, http://www.smallcrab.com//, Diakses tanggal 22 Mei 2009.
Ashar, S. Dan Prana, I., 2008, “Optimasi Adsorben Karbon Aktif dari Sekam Padi dengan Aktifasi Fisika”, Jurusan Teknik Kimia, FTUNLAM, Banjarbaru.
Cotton, F.A. and Wilkinson, G., 1989, “Kimia Anorganik Dasar, Terjemahan : Suharto, S. Cetakan Pertama”, UI Press, Jakarta.
Gaol, dan Lestari, D. L., 2001, “Studi Awal Pemanfaatan Beberapa Jenis Karbon Aktif Sebagai Adsorben”, Jurusan Gas dan Petrokimia, FTUI, Jakarta.
Guenther, E., 1987, “Minyak Atsiri”, Jilid I, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Guenther, E., 1990, “Minyak Atsiri”, Diterjemahkan oleh R.S Ketaren dan R. Mulyono, Jilid IIIA, UI Press, Jakarta.
Ketaren, S., 1985, “Pengantar Teknologi Minyak Atsiri”, Balai Pustaka, Jakarta.
Kirk and Othmer, 1993, “Encyclopedia of Chemical and Technology”, Vol A. John Wiley & Son S Inc, New York.
Krismawati, A., 2005, “Nilam dan Potensi Pengembangannya Kalteng Jadikan Komoditas Rintisan”, Tabloid Sinar Tani, Kalimatan Tengah.
Rusli, S., 1991, “Pemurnian/Peningkatan Mutu Minyak Nilam dan Daun Cengkeh, Prosiding Pengembangan Tanaman Atsiri di Sumatera. Bukit Tinggi”, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.
Sembiring, M.T. dan Sinaga, T. S., 2007, “ARANG AKTIF (Pengenalan Prasetio, E. B., Pengaruh Temperatur Dalam Pembuatan arang aktif Kayu Ulin Dan Pemanfaatannya Sebagai Adsorben Pada Proses Filtrasi Air Minum”, FMIPA UNLAM, Banjarbaru.
Tan, H. S., 1962, “Minyak Atsiri. Balai Penelitian Kimia PNPR. Nupika-Yasa Deperindag”, Kantor dan Penyuluhan Deperindag, Bogor.
Treybal, R. E., 1980, “Mass Transfer Operation”, 3 ed, McGraw-Hill coo, kogakusha, New York.
Tangendjaja, Budi & Hernani, 1988, “Analisa Mutu Minyak Nilam & Minyak Cengkeh Secara Kromatografi”, Media Penelitian Sukamandi No 6, Bogor.
LAMPIRAN
Maaf mau tanya, apa korelasi penggunaan arang aktif yang menyebabkan PA menjadi meningkat, JIka yang diserap hanya air dan partikel besi sisa penyulingan?
BalasHapusmaaf baru sempat balas, dari hasil penelitian memang kadar PA itu naik apabila pengotor-pengotor yang ada berkurang,pengotor2pengotor itu diserap oleh arang aktif tadi..karena penggunaan tanpa arang aktif akan sangat berbeda dengan penggunaan arang aktif..
BalasHapusmaaf.. artikel ini ada yang berbentuk jurnal pdf tidak ??
BalasHapussaya ingin memasukkannya sebagai referensi dalam karya ilmiah saya
mohon info.. kami perlu meningkatkan kadar pa pd minyak nilam , sy ada permintaan dlm jumlah rutin u export.. zulfie007@gmail.com
BalasHapus